Rabu, 13 Januari 2010

Risau Hati Anak Unta


Pada suatu malam di tengah bentangan padang pasir nan luas, terdapat seekor anak unta bersama sang induk yang berjalan menyusuri daratan yang dipenuhi hamparan pasir yang kering dan tandus.

Mereka menembus ganasnya badai pasir yang datang sepanjang malam, di antara gelapnya sang langit tua yang membius dengan dinginnya udara padang pasir yang menusuk dan selalu menahan tiap langkah mereka demi mencari mata air untuk mempertahankan hidup.

Di tengah perjalanan, mereka menemukan pohon kering diantara bongkahan batu besar, dan memutuskan untuk berlindung di bawahnya. Seperti biasa, sang ibu mengumpulkan jerami–jerami kering dan kemudian menidurkan anaknya diatasnya. Sejenak sang ibu memandang anaknya yang mencoba menahan tetes air matanya. Entah apa yang dia risaukan sang anak.

Sang Ibu pun mulai bertanya: “Nak, apa yang mengganggu hati mu? Bahkan ganasnya badai dan dinginnya malam pun tak mampu mengusikmu.”

Meskipun terus mengelak karena tak mau menambah beban ibunya, sang anak mulai berterus terang: “Mengapa ayah tega meninggalkan kita dalam keadaan seperti ini? Mengapa lebih memilih menjadi tunggangan perang dan menyerahkan jiwa dan raganya daripada tetap bersama kita?”

Sang ibu mencoba menenangkan dan menjawab: “Nak, ayahmu meninggalkan kita karena tugas yang mulia dan menyerahkan dirinya hanya kepada Al-Khaliq (Sang Maha Pencipta). Tak satu pun tetes air matamu pantas menyesalinya. Itu semua sudah merupakan tulisan dari Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Suatu kebanggaan bagi ayahmu karena menjadi tunggangan perang pemimpin Mujahidin di akhir hayatnya.”

“Tapi aku sangat rindu ayah ada di samping kita… aku rindu ketika ayah melindungi kita… aku rindu belaian ayah… aku rindu ketika ayah dan ibu tertawa bersama,… aku sayang ayah, Bu…” Balas sang anak sambil menangis kencang dan memeluk ibunya.

Sang ibu terenyum dan kemudian menjawab dengan sangat bijak: “Nak, sebenarnya ayahmu tak pernah meninggalkan kita... Dia selalu mendoakan agar Alloh selalu melindungi kita… Lihatlah pohon tua dan kering ini… Tidak ada yang abadi di dunia ini… baik buah-buahan, bebatuan, pepohonan, rasa cinta maupun benci… dan juga pertemuan maupun perpisahan… pertemuan di dunia ini hanyalah sementara… karena kematian akan memisahakan kita semua…akan tetapi kematian pun bukan perpisahan yang abadi… karena di akherat kelak kita semua akan di persatukan kembali…”

Mendengar penjelasan ibunya, sang anak pun seperti merasa mendapatkan segarnya harapan embun pagi di tengah keringnya padang pasir.

Dengan penuh harapan sang anak bertanya lagi pada ibunya: “Berarti kelak kita akan bertemu ayah lagi, Bu?”

Sang ibu menjawab sambil mengusap air mata anaknya: “iya anakku…kita akan bertemu lagi dengan ayah… tapi ketika kelak di akherat kita semua dipersatukan kembali, ayahmu akan terlihat sangat sedih apabila anak yang sangat dibanggakannya menjadi anak yang lemah dan terus menangisinya… kamu harus membuat ayah tersenyum dan bangga telah mempunyai anak sepertimu…sekarang tidurlah besok kita akan melanjutkan perjalanan kita”

Setelah mendengar semua penjelasan ibunya, sang anak pun mulai lega dan kemudian memejamkan matanya.

Ditengah lelap tidur sang anak bermimpi, pohon tua dan kering yang melindunginya malam itu berbicara padanya.

Dengan suara yang berat layaknya telah berusia renta, pohon itu memanggilnya: “wahai anak unta…air mata mu tak pantas membasahi akar-akar ku!!”

Mendengar suara pohon itu, sang anak merasa terkejut dan ketakutan. Dengan mengumpulkan keberanian, sang anak pun menjawab: “hai pohon tua… aku tak takut pada mu…air mataku tak melemahkanku tapi telah membuat ku semakin kuat…”

Melihat tingkah sang anak, pohon tua itu tersenyum dan seolah teringat sesuatu.

“Kenapa kau tersenyum wahai pohon tua?” tambah sang anak.

“Melihat tingkahmu yang berani membuatku teringat waktu ditanah ini terjadi perang besar. Ada seorang pemimpin Mujahidin menunggangi seekor unta besar yang gagah berani. Larinya sangat kencang, menembus hadangan pasukan kafir. Dia berjuang mati-matian untuk memecah formasi pasukan kafir demi mencapai kemenangan. Tak disangka pasukan Mujahidin dengan jumlah setengah dari pasukan kafir berhasil memenangkan perang besar ini. Meskipun akhirnya unta besar dan pemimpin Mujahidin yang menungganginya gugur, jasanya sangat besar bagi umat manusia dan seluruh dunia.” Dengan bersemangat pohon tua itu menceritakan kisahnya.

Mendengar kisah dari pohon tua itu, sang anak tak lagi meneteskan air mata, bahkan tersenyum dan berkata dalam hati “Unta itu adalah ayah ku, aku akan menjadi sehebat dia.”

“Dengan unta seperti kalian yang pemberani, aku yakin dunia ini pasti akan menjadi lebih baik.” Tambah pohon tua itu.

Sesaat setelah itu, sang anak bangun dari mimpi karena dibangunkan oleh ibunya: “Bangun Nak, sudah pagi, sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan mancari mata air.”

Sang anak pun bangun dan kembali melanjutkan perjalanan dengan semangat yang baru. Semangat yang diyakini dapat membuat ayah yang sangat disayanginya tersenyum melihatnya.